Minggu, 25 April 2010

Di balik klesedihan

DIBALIK KESEDIHAN

Braakk…

Aku menutup pintu kamarku keras dan segera menguncinya. Dari luar terdengar teriakan dan gendoran pintu keras. Aku hanya bisa terpuruk dan terisak.

“Mengapa selalu begini, Tuhan?” kataku miris.

“SHA! CEPAT BUKA PINTUNYA! DASAR ANAK KURANG AJAR! SHA…” Terdengar teriakan Papa dari luar. Aku hanya diam, terisak. Ya, inilah kehidupanku. Ini semua terjadi sejak Papa menjadi pengusaha sukses. Papa jadi egois, pemarah, tidak perhatian dengan keluarga, dan… suka memukuli Mama. Jadi, apa salah jika aku menentang Papa? Oh, Tuhan, kuatkanlah aku dan Mama. Perlahan, aku bangkit dan meraih HP di meja kecil di sebelah ranjang. Aku tak peduli dengan gendoran pintu dan teriakan itu, aku sudah kebal. Kalau Papa capek pasti akan berhenti sendiri, kan? Aku segera memencet beberapa nomor dan menelponnya.

Ada apa, bodoh? Kau tak tau, ya? Ini sudah larut.” Kata Gio saat dia menerima teleponku. Aku hanya diam, lidahku terlalu kelu untuk menjawab.

“Suara gendoran dan teriakan apa itu? Jangan bilang kau…”

“Ya, Gio. Aku bertengkar lagi dengan Papa. Tadi Papa memukul Mama lagi. Aku… aku tak tega Mama di perlakukan seperti itu.” Kataku miris.

“Kau yang sabar ya. Aku yakin ini semua pasti akan berakhir.” Kata Gio menasehatiku.

“Aku capek, Gio. Papa tak pernah berubah.”

”Aku yakin dia akan berubah. Percayalah padaku. Sekarang kau yang tenang, ya? Dan segeralah tidur. Besok kita harus sekolah.” Kata Gio menenangkan.

“Ya. Makasih ya, Gio.”

“Sekarang kau tidurlah.”

“Ya. Met tidur.” Aku segera menutup teleponku. Gio, dia adalah sahabat terbaikku. Dia tau seluk beluk kehidupanku, sampai hal terpelik sekalipun. Dia selalu ada disaat aku butuh seperti saat ini.

Huff… aku pun segera berbaring di kasurku dan mulai terlelap. Setidaknya aku masih punya dunia sendiri dimana aku bisa berhenti sejenak dari masalahku.

--oo000oo--

Matahari telah beranjak dari peraduannya. Membangunkan setiap makhluk yang ada di dunia. Niesha pun membuka mata setelah beberapa jam tertidur dalam buaian mimpi. Bekas air mata dipipinya masih terlihat. Dia pun segera mandi dan bersiap-siap untuk berangkat sekolah. Semuanya dia kerjakan dengan malas-malasan, kalau dia bisa memilih, dia pasti akan lebih memilih mati saja. Dia pun segera keluar dari kamarnya menuju ruang makan. Disana, dia bisa melihat seorang wanita cantik sedang mengoles roti dengan selai. Walau dia tak berhasil menutupi pipinya yang lebam.

“Pagi, Mama.”

“Ah, Sha. Kau sudah siap? Sarapan dulu, ya? Nih, Mama buatin roti kesukaanmu.” Kata Mamanya tersenyum lembut.

“Iya, Mama. Mama baik-baik saja, kan?”

“Ya, Mama baik-baik saja kok. Kau jangan terlalu memikirkan ini ya, Sha?”

“Tapi, Papa sudah keterlaluan. Kita selalu disiksa. Sebagai seorang anak aku harus melindungi Mama, kan?”

“Sha, kau tau kan? Aku sangat mencintai Papamu. Walau seperti apapun dia.” Niesha terhenyak. Ya, dia tau Mamanya sangat mencintai Papanya.

“Niesha pergi dulu.”

“Hati-hati dijalan.” Mamanya hanya dapat melihat kepergian anaknya dan tersenyum hambar.

--oo000oo—

“Pagi semua!!” teriak Niesha lantang di depan kelas. Yang lain cuman nutup telinga, karena suara cempreng Niesha yang sudah kayak sepuluh toa itu. Niesha sih cuman nyengir saja dengan innocentnya. Dia pun langsung melesat duduk dibangku tercintanya. Niesha bersekolah di SMA N 1 Cahaya dan sudah kelas XI.

“Hoi, Gio! Pagi-pagi jangan ngalamun!” kata Niesha sambil menyenggol Gio. Mereka memang duduk sebangku.

“Hn.” Cowok emo itu menjawab singkat, cair, dan nggak jelas.

“Ah, bicaramu pelit sekali sih!” kata Niesha sambil menggembungkan pipinya.

‘Oh, Tuhan… kenapa kau ciptakan makhluk semanis dia sih?’ batin Gio sambil menutupi pipinya yang memerah.

“Eh, Gio. Besok kan ada ulangan matematika. Tolong ajari aku, ya?”

“Hn. Kapan?”

“Gimana kalau nanti saja sepulang sekolah? Dirumahmu tapi.”

“Oke. Tapi ku peringatkan kau, walau kau belajar sampai mati pun kau tak akan pernah bisa, bodoh.” kata Gio tersenyum mengejek.

“Apa kau bilang! Yang penting kan aku sudah berusaha.”
”Kau kan bodoh!”

“Apa kau bilang!”

“Hoi, kalian yanag dibelakang! Bertengkarnya dilanjutkan nanti saja.” Ucap Pak Anwar, guru fisika mereka, yang ternyata sudah masuk kekelas. Terpaksa, Niesha dan Gio menyudahi ‘obrolan’ mereka dengan perasaan gondok.

--oo000oo—

“Hoi, Gio! Kalau soal nomor tujuh ini cara menyelesaikannya pakai rumus apa?” Tanya Niesha yang sedang membuat soal-soal matematika kepada Gio. Mereka sekarang ada dikamar Gio. Ya, mereka selalu belajar kelompok bila sudah pulang sekolah. Gio pun segera menghampiri Niesha yang sedang duduk diatas kasur king-sizenya.

“Gini caranya.” Gio pun mulai menjelaskan kepada Niesha dengan menggunakan rumus yang termudah mengingat temannya yang sangat lemot dalam meresapi penjelasan seperti ini.

“Oh.. gitu ya.” Jawab Niesha sambil mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti.

“Huff.. yasudah, kau buat yang lainnya juga.”

“Tanpa kau suruhpun pasti akan ku buat Gio!” kata Niesha sambil kembali tenggelam dalam membuat soal-soal ‘nista’ itu. Gio hanya diam, memandangi wajah manis Niesha. Kadang, dia tak habis pikir. Kenapa tidak dia saja yang menjadi guru Niesha? Toh Niesha lebih jelas kalau dia yang mengajari. Lagian lumayan kan dapat guru seganteng dia. Hohohoho… narsisnya kau Gio.

“Dasar Bodoh! Nomer 11 rumusnya salah tau!” kata Gio sambil menjitak kepala Niesha.

“Aduh.. sakit tau!” kata Niesha sambil mendorong kuat tubuh Gio. Gio yang kehilangan keseimbangan pun refleks menarik lengan Niesha. Dan…

Bruukk…

Mereka pun dengan sukses jatuh dari atas kasur. Punggung seksi Gio pun langsung ‘berciuman’ dengan lantai, dengan tubuh mungil Niesha menindihnya. Gio membuka matanya, dan terpaparlah wajah super manis Niesha yang hanya berjarak kurang dari lima senti. Namun mata cokelat itu masih terpejam. Sungguh, Gio sangat kagum akan maha seni dihadapannya. Perlahan, Niesha membuka matanya. Cokelat dan hitam bertemu. Wajah Niesha langsung memerah begitu menyadari posisinya dengan Gio.

“Gi.. Gio.” Ucap Niesha lirih.

“Niesha.” Bisik Gio. Gio pun perlahan mendekatkan wajahnya ke Niesha. Dan…

Cieet…

“Gio, ini min…” Diandra pun tak dapat meneruskan kata-katanya begitu melihat posisi Gio dan Niesha.

Singg…

Diam masal selama beberapa menit…

“Ah, minumannya aku antar lain kali saja. Silahkan dilanjutkan.” Sambil tersenyum mesum, parasit itupun pergi meninggalkan Gio dan Niesha yang berwajah merah, persis kayak kepiting rebus terkena saus tomat dan darah, terus dilumuri sirup strawberry dan, yah intinya sih merah gitu aja. Niesha dan Gio pun berdiri.

‘Cih, Kakak sialan. Kalau dia tidak datang pasti aku sudah mencium bibir soft Niesha.’ Batin Gio gondok.

“Maaf ya tadi.” Ucap Niesha malu.

“Hn.” Ucap Gio datar, padahal dia berusaha keras menyembunyikan rasa malunya.

“Aku pulang saja deh, udah sore nih.” Niesha pun segera memberesi bukunya yang berserakan kemana-mana.

“Biar aku antar.” Gio lalu mengantar pulang Niesha. Diandra sih cuma senyam-senyum nggak jelas. Huff… Biarkanlah orang mesum itu.

--oo000oo—

Malam pun tiba. Mengganti teriknya malam oleh langit beludru hitam. Rintik-rintik hujan pun berjatuhan ke bumi. Sesekali, terdengar suara guntur menggelegar dengan angkuhnya.

“SHA! BUKA PINTUNYA!” Teriak Papanya keras sambil menggendor pintu kamar puterinya. Lagi, kejadian seperti malam lalu terjadi lagi. Niesha hanya terpuruk sambil terisak. Sebenarnya, ini semua terjadi saat Niesha mulai berani membantah Papanya yang suka memukuli Mamanya. Siapa sih yang tega membiarkan Mamanya dipukuli terus?

“Hiks… Tuhan, kenapa ini semua harus terjadi padaku? kemana perginya Papa yang ramah dan penyayang itu?” Bayangan masa lalu yang indah pun mulai membayangi Niesha.

--oo0oo--

Hari minggu yang cerah. Keluarga Niesha menghabiskan waktu liburannya di taman. Niesha yang saat itu berumur 5 tahun dengan ceria sibuk bermain ayunan dengan Papanya. Sedangkan Mamanya hanya duduk di bangku yang agak jauh dari mereka sambil memperhatikan puteri dan suaminya.

“Ayo, Papa. Ayun yang kuat. Bial Niesha sepelti bulung.” kata Niesha bersemangat.

Papanya hanya menuruti kemauan anaknya. Tapi, tiba-tiba Niesha jatuh.

“Kau tak apa kan, Sha?” kata Papanya cemas sambil menggendong puterinya.

“Niesha nggak apa-apa kok, Papa. Niesha kan kuat.” kata Niesha sambil mengeluarkan senyum andalannya.

“Papa, liat! ada balon!” kata Niesha berbinar-binar.

“Sha mau?”

“Um.” Niesha langsung mengangguk kuat. Papanya tersenyum dan segera membelikan Niesha sebuah balon besar bergambar panda.

“Liat, Mama! Nalu punya balon belgambal panda!” kata Niesha ceria sambil berlari menghampiri Mamanya.

“Ah, bagus sekali. Sudah bilang terima kasih belum sama Papa?” Tanya Mamanya sambil tersenyum lembut.

“Udah dong.”

“Kita makan siang dulu yuk?” Ajak Papanya.

“Ayo! Niesha pengen makan ayam goyeng!”

“Iya. Ayo.” kata Mamanya lembut. Mereka pun berjalan beriringan menuju restoran yang berada tak jauh dari tempat itu. Niesha tersenyum cerah dengan kedua tangannya digandeng oleh Papanya dan Mamanya. Sungguh, masa kanak-kanak yang bahagia.

--oo0oo--

Braakk… braakk… braakk… Suara gendoran pintu yang keras itu pun masih terdengar dengan lantangnya. Hingga, bingkai foto yang tergantung di pintu pun jatuh. Kaca yang membungkus foto itu pun pecah berkeping-keping, membuat foto itu pun mencuat. Perlahan, Niesha memungut foo itu. Foto yang menampilkan sebuah keluarga kecil yang bahagia, dulu…

“Hiks… Tuhan, bila aku boleh memilih, aku lebih memilih kehidupanku yang dulu. Walau hidup kami sederhana, yang perting kami bahagia. Dari pada hidup kami mewah seperti ini tapi sangat hancur. Tuhan, apakah dosa yang sudah kami perbuat hingga kau menghukum kami seperti ini?” kata Niesha di sela-sela isaknya. Niesha memungut sebuah serpihan kaca.

“Maafkan aku semua. Mungkin dengan ini semuanya akan segera berubah.” Bisik Niesha. Dengan itu pun, darah segera mencuat dari pergelangan tangan Niesha. Sebuah goresan dalam telah ia buat dengan serpihan kaca itu. Bau anyir menyeluar, gengan merah pun segera terbentuk. Perlahan, kesadaran Niesha hilang.

--oo000oo—

“Sha, kau sudah sadar!” ucap Mamanya cemas saat melihat kelopak mata Niesha mulai terbuka. Sudah semalaman Niesha terbaring di rumah sakit. Mungkin, kalau saat itu Papanya tidak menggebrak pintu Niesha, dia tak akan selamat.

“Mama.. aku dimana?” Tanya Niesha lemah.

“Kita ada di rumah sakit sayang. Kenapa kau sampai mencoba bunuh diri?”

“Itu…”

“Sha! Kau sudah sadar!” kata Gio cemas, dia baru saja memasuki ruang inap Niesha.

“Gio…”

“Kau, dasar bodoh! Kenapa kau berpikiran sedangkal itu sih? Apa sih yang ada di otakmu itu! Dasar Bodoh!” kata Gio memarahi Niesha, dia sangat khwatir. Niesha perlahan menangis.

“Maafkan aku, Gio.”

“Kau tau kan, orang tuamu sangat cemas. Hanya kau lah yang mereka miliki. Dan juga aku.” Kali ini nada suara Gio begitu lembut. Hingga Niesha terpengarah tak percaya, apa benar itu adalah Gio yang di kenalnya?

“Gio…”

“Sha, adayang ingin bertemu denganmu.” Kata Mamanya sambil menunjuk Papanya.

“Apa yang kau lakukan disini?!” ujar Niesha marah.

“Sha, Papa minta maaf. Papa mengaku salah atas semuanya.”

“Setelah semuanya terjadi Papa baru meminta maaf?” ucap Niesha masih marah.

“Maafkan Papa Sha.” Kata Papanya memelas. Niesha diam.

“Bodoh, bukannya ini semua yang kau inginkan dari dulu? Kenapa sekarag kau malah marah?” kata Gio pada Niesha. Niesha berfikir sejenak.

“Um… aku juga minta maaf, Papa.” Ujar Niesha sungguh-sungguh.

“Sha.” Dan keluarga kecil itu pun berpelukan. Gio minggir, hampir saja ia keluar dari ruangan itu saat sebuah suara memanggilnya.

“Gio, jangan pergi! Kau kan selalu ada di saat aku sedih, kenapa di saat aku bahagia seperti ini kau malah mau pergi sih!” kata Niesha sambil tersenyum lembut. Gio hanya mengangguk.

“Sha, Papa dan Mama pergi keruang dokter dulu, ya?” kata Mamanya lembut.

“Ya.” Kata Niesha yersenyum lembut. Mamanya dan Minati pergi. Gio langsung menghampiri Niesha dan duduk di tepian ranjangnya.

“Makasih ya, Gio. Kau benar, keluargaku kembali utuh.”

“Seorang Gio tak pernah bohong. Um.. Sha, selama ini kau menganggapku sebagai apa?”

“Aku sudah menganggapmu sebagai sahabatku sendiri.”

“Nggak lebih?” tanya Gio penuh harap. Wajah Niesha memerah.

“Maksudmu?”

“Aishiteru.” Ucap Gio sungguh-sungguh. Wajah Niesha semakin memerah. Dia diam, berfikir sejenak tentang perasaannya yang terdalam.

“Aku juga.” Ucap Niesha mantap. Mereka berdua bertatapan. Membagi kesungguhan lewat masing-masing tatapan. Gio langsung memeluk Niesha.

“Makasih ya, Sha.” Kaya Gio lembut. Niesha hanya membalasnya dengan memperkuat pelukannya. Gio lalu melepaskan peluknnya. Dia mendekatkan wajahnya ke Niesha. Menipiskan jarak diantara mereka, sedikit memiringkan wajah, dan…

Ceklek…

“Sha, katanya kau…” Diandra menghentikan kata-katanya saat melihat posisi Niesha dan Gio yang hampir berciuman.

“Maaf mengganggu lagi. Aku jenguk nanti saja. Silahkan dilanjutkan.” Diandra tersenyum gaje dan nyelonong pergi. Meninggalkan Niesha dan Gio yang cengo.

“Dasar Kakak pengganggu!” teriak Gio kesal. Niesha hanya cekikikan sendiri.

“Jadi, sampai mana kita tadi?” tanya Gio mesum. Diam sejenak…

“Hahahaha…” mereka pun tertawa bersama. Setidaknya mulai saat ini keceriaan ini tak akan berakhir.

--oo000oo—

TAMAT

--oo000oo—

Senin, 19 April 2010

CARA MEMBUAT BLOG

Masih dalam program pembuatan.